JAKARTA|GemaNusantara.id – Harga Batu Bara Acuan (HBA) menguat dan terus naik. Pada Juni 2021 harga batu bara mencapai US$100,33 per ton atau naik US$10,59 per ton dibandingkan Mei 2021, yaitu US$89,74 per ton.
Tren kenaikan harga batu bara dalam dua bulan terakhir didorong oleh peningkatan permintaan dari Tiongkok akibat periode musim hujan di negara tersebut, serta semakin tingginya harga domestik batu bara setempat.
Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM Agung Pribadi mengungkapkan harga tersebut merupakan yang tertinggi sejak bulan November 2018, yaitu US$97,90 per ton.
Nilai HBA bulan Juni ini akan dipergunakan pada penentuan harga batu bara pada titik serah penjualan secara Free on Board di atas kapal pengangkut (FOB Vessel) selama sebulan.
“Kenaikan permintaan (Tiongkok) untuk keperluan pembangkit listrik yang melampaui kapasitas pasokan batubara domestik,” kata Agung di Jakarta, Kamis (2/6).
Musim hujan ekstrim, sambung Agung, ikut memperketat kapasitas pasokan batubara Tiongkok. “Faktor ini yang memicu harga batubara global ikut terimbas naik,” ungkapnya.
Perhitungan nilai HBA sendiri diperoleh dari rata-rata empat indeks harga batubara dunia, yaitu Indonesia Coal Index (ICI), Newcastle Export Index (NEX), Globalcoal Newcastle Index (GCNC), dan Platt’s 5900 pada bulan sebelumnya.
Sebagai catatan, nilai HBA sejak tahun 2021 cukup fluktuatif. Dibuka pada level US$5,84 per ton di Januari, HBA mengalami kenaikan pada bulan Februari US$87,79 per ton, sempat turun di Maret US$84,47 per ton. Sementara dalam dua bulan terakhir, HBA mengalami kenaikan, yaitu US$86,68 per ton di bulan April dan di bulan Mei sebesar US$89,74 per ton.
Perubahan HBA diakibatkan juga oleh faktor turunan supply dan faktor turunan demand. Untuk faktor turunan supply dipengaruhi oleh season (cuaca), teknis tambang, kebijakan negara supplier, hingga teknis di supply chain seperti kereta, tongkang, maupun loading terminal.
Sementara untuk faktor turunan demand dipengaruhi kebutuhan listrik yang turun berkorelasi dengan kondisi industri, kebijakan impor, dan kompetisi dengan komoditas energi lain, seperti LNG, nuklir, dan hidro.