SURAKARTA | GemaNusantara.id – Bagi orang Jawa, kirab dan jamasan pusaka setiap 1 Suro sudah menjadi tradisi dan ritual wajib. Bahkan di bulan Suro, ada kepercayaan di masyarakat Jawa jangan menggelar pernikahan. Sebenarnya apa makna Suro bagi orang Jawa?
Menurut Pakar Budaya dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Prof. Dr. Andrik Purwasito, DEA, Suro atau dikenal dengan wulan Suro adalah awal tahun Jawa yang diciptakan oleh Sultan Agung dengan dasar mengikuti perhitungan peredaran bulan Komariyah.
Dalam perhitungan Sultan Agung (1613 – 1645) setelah Suro ada bulan kedua, yaitu Sapar, dan seterusnya. Mulud, Jumadilawal, Jumadilakhir, Rejeb, Ruwah, Pasa, Sawal, Dulkangidah dan Besar.
“Setiap bulan dalam perhitungan tahunan Jawa mempunyai kekuatan spiritual yang berkorelasi dengan peruntungan nasib seseorang,” ungkap Prof. Andrik yang juga Kepala Prodi Kajian Budaya, Sekolah Pasca Sarjana UNS Surakarta.
Wulan Besar sering digunakan sebagai ritual pernikahan, karena diharapkan pada bulan tersebut pasangan pengantin akan memperoleh peruntungan yang besar dalam kehidupannya.
Misalnya, punya keturunan yang sempurna dan rezeki yang melimpah. Wulan Suro pada umumnya merupakan pantangan bagi pernikahan karena bulan itu digunakan oleh Karaton Mataram untuk hajatan dan berbagai ritual gaib untuk menjaga eksistensi dan relasi kuasa jagad wadag dan jagad alus.
“Maka apabila seseorang akan melakukan pernikahan di bulan Suro perlu dilakukan ruwatan atau selamatan mohon ijin kepada penguasa gaib,” kata Guru Besar bidang Ilmu Komunikasi Lintas Budaya di UNS tersebut.
Oleh karena itu, di Karaton keturunan Mataram, wulan Suro adalah bulan yang keramat, yang sangat baik untuk jamasan pusaka, untuk lelaku tirakat (tapa mbisu, tapa mlaku, tapa kungkum, untuk memulai usaha baru dan hajatan yang lain), karena pada saat itu, alam halus dan alam agal, keduanya terbuka untuk merestui apa yang menjagi pangajab (cita-cita) manusia.
“Allah SWT hadir dalam setiap ritual, yang diawali dengan doa Bismillahirohmanirochim. Lalu membaca syahadat dan doa panyuwun. Diakhiri dengan Alhamdulillahirobil alamin, bentuk syukur atas nikmat dan karunia dariNya,” ungkap Prof. Andrik.
Di era sekarang, apakah itu hanya sekadar seremoni atau mungkin atraksi?
Pada hakekatnya Suro itu adalah waktu yang sangat baik bagi orang Jawa untuk memohon keselamatan dan memohon hajat agar manusia terhindar dari marabahaya dan selalu mendapatkan perlindungan, barokah, hidayah dan inayahNya.
Dalam kesempatan itu, Karaton sebagai pusat kekuasaan di masa lalu, kini lebih bersifat sebagai pusat kebudayaan Jawa dan pusat spriritualitas, maka acara Suran, atau memperingat wulan Suro mempunyai dua dimensi.
Pertama, bersifat Tuntunan (edukasi dan inspirasi), yaitu edukasi bagi masyarakat agar hidupnya lurus dan menjauhkan dari perbuatan kemungkaran (amar makruf nahi mungkar).
Kedua, peringatan bulan Suro juga dimasukkan unsur Tontonan (entertainment, atraksi) yang kemudian diperlihatkan jimat (pusaka) andalah Keraton/Kadipaten dengan cara Kirab, sedangkan Kebo Kyai Slamet adalah merupakan pesan spiritual, yakni hidup bahagia itu adalah laku yang selamat.
“Maka Kyai Slamet adalah simbol laku manusia yang harus bekerja untuk kemanusiaan, seperti halnya kerbau yang siap membajak di sawah. Tidak ayal lagi, setiap perjalanan Kyai Slamet yang kirab mengelilingi jalan-jalan di kota Solo, tidak lain adalah kitab Gaib yang harus dibaca secara edukatif dan inspiratif,” ujar Prof. Andrik yang juga dalang wayang kulit dengan nama beken Ki Ageng Guru.
Bulan Suro dianggap sebagai bulan wingit atau horor, benarkah?
Prof. Andrik menegaskan, bulan Wingit itu hanya untuk menyebut apa yang sudah dijelaskan di atas. Jadi, terminologi wingit tidak dapat diterjemahkan sebagai ruang yang horor semata, tetapi wingit adalah wilayah atau public space yang memberi peluang masyarakat untuk merenungkan kehidupan ini secara cerdas.
“Orang-orang berduyun-duyun menonton Kirab Kebo Kyai Slamet tidak lain adalah upaya untuk mawas diri, hidup itu harus bekerja dan kerja, ikut menjaga kelesatarian peradaban, dengan sikap saling hormat menghormat, sikap toleransi di atas perbedaan yang ada. Itulah makna satu suro yang sesungguhnya,” ungkapnya.
Semangat kebangsaan dan pluralisme
Terpisah, Budayawan dan spiritualis nusantara Kidung Tirto Suryo Kusumo mengatakan peringatan 1 Suro memiliki makna mendalam, tidak hanya bagi orang Jawa tetapi juga bagi rakyat Indonesia.
“Dilihat dari semangat kebangsaan, peringatan 1 Suro ini menggambarkan jiwa kepahlawanan Sultan Agung yang memerangi penjajahan Belanda pada masanya,” ungkap Kidung Tirto.

Menurut dia, Sultan Agung juga dikenal sebagai pemimpin yang mengerti kehidupan pluralisme. Dalam misinya menyebarkan ajaran Islam, Raja Mataram ini memadukan tradisi Jawa dan Islam dengan menetapkan 1 Muharram sebagai tahun baru Jawa.
“Suro mewakili spirit dari Sultan Agung yang taat menjalankan ibadah tetapi tidak menutup mata adanya budaya Jawa yang telah bercokol lama sebelum Islam masuk ke Pulau Jawa,” kata spiritualis asal Gunung Lawu ini.
Kidung Tirto mengatakan dalam tradisi Jawa, 1 Suro merupakan saat yang tepat untuk introspeksi diri selama perjalanan hidup setahun terakhir. “Satu Suro juga menjadi momentum bagi para pemimpin bangsa untuk instrospeksi dan mengikuti jejak Sultan Agung dalam memerangi ketidakadilan dan mengabdi pada bangsa dan Negara,” ujarnya.