JAKARTA – Pencurian alumni beasiswa Bahasa Indonesia oleh Malaysia dinilai tindakan diplomasi culas dan tidak bersahabat. Praktik diplomasi culas seperti ini tidak boleh dibiarkan.
Para diplomat dan Duta Besar Indonesia di negara akreditasi harus berani menunjukkan sikap tegas terukur kepada Kedutaan Besar Malaysia jika mereka kedapatan memanfaatkan alumni Dharmasiswa dan BIPA untuk kepentingan diplomasi budaya mereka.
Hal itu disampaikan oleh Dr Darmansjah Djumala, yang pernah menjabat Duta Besar di Austria dan PBB serta Polandia, saat menjadi pembicara tunggal di sub-tema “Internasionalisasi dan Diplomasi Bahasa Indonesia” di Kongres Bahasa Indonesia XII pada 26-28 Oktober.
KBI yang diselenggarakan lima tahunan itu membahas beragam tema terkait bahasa dan sastra Indonesia dengan menghadirkan pakar di bidangnya.
Dia memberikan paparan khusus terkait dengan diplomasi Bahasa Indonesia yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) di puluhan negara sahabat.
Dalam paparannya, Dubes Djumala menyampaikan bahwa dalam teori Hubungan Internasional dan diplomasi, bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa (unifying factor) merupakan elemen soft power diplomacy Indonesia.
“Di tengah dunia yang sedang dilanda perpecahan internal di sejumlah negara akibat sentimen suku, etnik, ras, dan agama, nilai pemersatu yang diemban oleh bahasa Indonesia dalam menyatukan sebuah bangsa yang besar menjadi relevan,” kata Dewan Pakar Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Bidang Strategi Hubungan Luar Negeri ini.
Ada dua program Kemendikbud dalam diplomasi bahasa, yaitu Dharmasiswa dan BIPA (Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing).
Bekerja sama dengan KBRI dan KJRI, program Dharmasiswa dan BIPA telah menghasilkan ratusan alumni yang tersebar di puluhan negara. Dari pengalamannya sebagai diplomat dan Dubes di beberapa negara, Dia mengungkapkan kenyataan pahit, yakni para alumni Dharmasiswa dan BIPA ini justru “dicuri” oleh negeri jiran, Malaysia.
“Mereka memanfaatkan para alumni beasiswa Indonesia untuk kepentingan diplomasi budayanya. Bahkan dalam beberapa kasus, ada yang diundang ke Malaysia untuk ikut lomba pidato dalam bahasa Melayu (padahal para alumni itu hanya bisa bahasa Indonesia, yang tentu beda dengan bahasa Melayu),” ungkapnya.
Langkah Preventif
Untuk mengatasi masalah ini, Dubes Djumala menyarankan Kemendikbud dan Kementerian Luar Negeri untuk mengambil langkah-langkah preventif.
Pertama, Indonesia harus “memelihara apa yang sudah ditanam” agar pengetahuan dan ketrampilan para alumni berbahasa Indonesia tidak hilang. Jika mereka tidak “dipelihara” oleh Indonesia setelah “ditanam”, maka buahnya “dipetik” Malaysia.
Kedua, diplomat dan Dubes Indonesia harus berani tunjukkan sikap tegas terukur kepada Kedubes Malaysia jika mereka kedapatan memanfaatkan alumni Dharmasiswa dan BIPA.
Ketiga, para alumni Dharmasiswa dan BIPA harus dihimpun dalam sebuah asosiasi persahabatan yang difasilitasi oleh KBRI/KJRI. Melalui asosiasi persahabatan interaksi antara para alumni dan Indonesia tetap terjaga. Mereka bisa diajak untuk berkolaborasi dalam kegiatan diplomasi budaya yang diselenggarakan oleh KBRI/KJRI.
”Dengan terbinanya hubungan baik dengan para alumni Dharmasiswa dan BIPA, diplomasi bahasa Indonesia dapat mencapai misi utama diplomasi budaya: memperat persahabatan dengan negara akreditasi,” ujar Dubes Djumala.